Home Jawa Timur 01-Kediri Klausul Hari Jadi Kabupaten Kediri Versi Panjalu Jayati Kadhiri

Klausul Hari Jadi Kabupaten Kediri Versi Panjalu Jayati Kadhiri

16 min read
0
2
64

Kediri (MPN) – Peduli Klausul. Hari Jadi Kediri diperingati setiap 25 maret oleh Kabupaten Kediri. Hal ini muncul berbagai pendapat dari komponen masyarakat peduli Kediri, seperti Yayasan Panjalu Kadhiri Jayati. “Kabupaten Kediri menentukan setiap tanggal 25 maret diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Kediri,karena merujuk pada Prasasti tertua Harinjing A yang tertera 25 maret tahun 804 masehi. Namun, klausul itu kuranglah tepat karena di Kediri itu terbagi 2 wilayah, Kabupaten dan Kota. Seharusnya, untuk kabupaten Kediri hari jadi itu ditentukan atau dimulai sejak pemerintahan Bupati Pertama yaitu Pangeran Slamet Poerbonegoro yang memerintah pada tahun 1800 hingga 1825,” tukas Andreas Suko Riyanto, seorang budayawan pendiri dan Pembina Yayasan Panjalu Jayati Kadhiri (25/3).

Asli Kediri menjadi fenomena pelurusan sejarah versi Adreas Suko Riyanto sang pendiri dan pembina Yayasan Panjalu Jayati Kadhiri untuk menjadi dasar dilaksanakannya Hari Jadi Kabupaten Kediri (26/3)

Dilansir dari situs resmi Kabupaten Kediri, disebutkan bahwa penentuan tanggal 25 maret itu berdasarkan Prasasti Harinjing A tanggal 25 Maret 804 masehi, dinilai usianya lebih tua dari pada kedua prasasti B dan C, yakni tanggal 19 September 921 dan tanggal 7 Juni 1015 Masehi.Dilihat dari ketiga tanggal tersebut, menyebutkan nama Kediri ditetapkan tanggal 25 Maret 804 M. Tatkala Bagawantabhari memperoleh anugerah tanah perdikan dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang tertulis di ketiga prasasti Harinjing.Nama Kediri semula kecil lalu berkembang menjadi nama Kerajaan Panjalu yang besar dan sejarahnya terkenal hingga sekarang. Selanjutnya ditetapkan surat Keputusan Bupati Kepada Derah Tingkat II Kediri tanggal 22 Januari 1985 nomor 82 tahun 1985 tentang hari jadi Kediri, yang pasal 1 berbunyi ” Tanggal 25 Maret 804 Masehi ditetapkan menjadi Hari Jadi Kediri.

Yayasan Panjalu Jayati Kadhiri (sbr. YPJK 26/3)
Andreas Suko Riyanto, budayawn pendiri dan pembina Yayasan Panjalu Jayati Kadhiri (dokpri 26/3)

Andreas menilai, dalam prasasti Harinjing A itu nama Kadhiri adalah sebuah wilayah yang sekarang adalah Kediri Raya yaitu wilayah Kabupaten dan Kota. Sehingga, seyogyanya peringatan antara Kabupaten Kediri dan Kota Kediri haruslah sama tanggalnya yaitu 25 maret. Padahal wilayah Kabupaten Kediri baru dibentuk pada tahun 1800 ditandai dengan diperintahnya Bupati pertama yaitu Pangeran Slamet Poerbonegoro yang memerintah pada tahun 1800 hingga 1825. Maka seyogyanya peringatan hari jadi Kabupaten Kediri itu mengambil masa awal Bupati pertama tersebut yaitu tahun 1800, bukan 25 maret 804 Masehi berdasar prasasti Harinjing A.

Budayawan pendiri Yayasan Panjalu Jayati Kadhiri itu juga mencontohkan seperti halnya hari jadi TNI yg diperingati séjak 5 Oktober 1945, mengapa tidak mengambil dari dibentuknya BKR / TKR sbg cikal bakal TNI sebelum kemerdekāan. Maka itu, tandas Andreas, harusnya para budayawan sejarawan dan para ahli lainnya serta Pemerintah Kabupaten Kediri memikirkan dan meninjau ulang tentang itu agar tak terjadi pembelokan sejarah yang berimbas pada pengetahuan menyimpang yang diserap oleh generasi mendatang. “Atau paling tidak, diadakan kembali simposium resmi yang khusus membahas penentuan waktu tentang hari jadi Kabupaten Kediri atau Kota Kediri berdasarkan logika sejarah yang benar dan tidak ego sentris,” ujar Warok Suko Panjalu, nama popular Andreas Suko Riyanto, sang pendiri dan Pembina Yayasan Panjalu Jayati Kadhiri yang bernomor HP 081515178777 itu.

Sejarah Singkat

Seperti diketahui, dinukil dari situs resmi Kabupaten Kediri, diterangkan berbagai alasan ditetapkannya tanggal 25 maret 804 Masehi menjadi Hari Jadi Kediri. Namun, sebelum itu perlu diketahui bahwa, pertama, menurut Kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, “Kedi” berarti Orang Kebiri Bidan atau Dukun. Di dalam lakon Wayang, Sang Arjuno, yang pernah menyamar Guru Tari di Negara Wirata, bernama “Kediwrakantolo”. Bila dihubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng, “Kedi” berarti Suci atau Wadad.

Disamping itu, kata Kediri berasal dari kata “DIRI” yang berarti Adeg, Angdhiri, menghadiri atau menjadi Raja (bahasa Jawa Jumenengan). Untuk itu dapat kita baca pada prasasti “WANUA” tahun 830 saka, yang diantaranya berbunyi :: “Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban“, artinya pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban.

Monumen Simpang Lima Gumul Kabupaten Kediri sebagai kota kebanggaan Kabupaten Kediri (25/3)

Kedua, nama Kediri banyak terdapat pada kesusatraan Kuno yang berbahasa Jawa Kuno seperti :Kitab Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama dan Kitab Calon Arang. Demikian pula pada beberapa prasasti yang menyebutkan nama Kediri seperti Prasasti Ceber, berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar Kecamatan Mojo.

Dalam prasasti ini menyebutkan, karena penduduk Ceker berjasa kepada Raja, maka mereka memperoleh hadiah, “Tanah Perdikan“. Dalam prasasti itu tertulis “Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri” artinya raja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri.Prasasti Kamulan di Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek yang berangkat tahun 1116 saka, tepatnya menurut Damais tanggal 31 Agustus 1194. Pada prasasti itu juga menyebutkan nama, Kediri, yang diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur.”Aka ni satru wadwa kala sangke purnowo“, sehingga raja meninggalkan istananya di Katangkatang (“tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri“).

Menurut  Drs. MM Sukarton Kartoatmojo menyebutkan bahwa “Hari Jadi Kediri” muncul pertama kalinya bersumber dari tiga buah prasasti Harinjing A-B-C, namun pendapat beliau, nama Kadiri yang paling tepat dimuculkan pada ketiga prasasti.

Alasannya Prasasti Harinjing A tanggal 25 Maret 804 masehi, dinilai usianya lebih tua dari pada kedua prasasti B dan C, yakni tanggal 19 September 921 dan tanggal 7 Juni 1015 Masehi.Dilihat dari ketiga tanggal tersebut, menyebutkan nama Kediri ditetapkan tanggal 25 Maret 804 M. Tatkala Bagawantabhari memperoleh anugerah tanah perdikan dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang tertulis di ketiga prasasti Harinjing.Nama Kediri semula kecil lalu berkembang menjadi nama Kerajaan Panjalu yang besar dan sejarahnya terkenal hingga sekarang.Selanjutnya ditetapkan surat Keputusan Bupati Kepada Derah Tingkat II Kediri tanggal 22 Januari 1985 nomor 82 tahun 1985 tentang hari jadi Kediri, yang pasal 1 berbunyi ” Tanggal 25 Maret 804 Masehi ditetapkan menjadi Hari Jadi Kediri.

Terukir dari Bhagawanta Bari 

Kediri mungkin tak tercatat di panggung sejarah, andai kata Bagawanta Bhari, seorang tokoh spiritual dari belahan Desa Culanggi, tidak mendapatkan penghargaan dari Sri Maharaja Rake Layang Dyah Tuladong. Pada waktu itu Bagawanta Bhari, seperti memperoleh penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha, kalau hal itu terjadi sekarang ini. Atau mungkin seperti penghargaan Kalpataru sebagai Penyelamat Lingkungan. Kala itu, begitu gigihnya upaya tokoh spiritual ini meyelamatkan lingkungan dari amukan banjir tahunan yang mengancam daerahnya.

Ketekunan tanpa pamprih inilah, Bhagawata Bari dianggap sebagai panutan, sekaligus idola masyarakat. Ketika itu, tidak ada istilah Parasamya atau Kalpataru, namun bagi masyarakat yang partisipatif memakmurkan negara akan mendapat “Ganjaran” seperti Bagawanta Bhari, yang juga memperoleh gelar kehormatan “Wanuta Rama” (ayah yang terhormat atau Kepala Desa) dan tidak dikenakan berbagai macam pajak (Mangilaladrbyahaji) di daerah yang dikuasai Bagawanta Bhari, seperti Culanggi dan Kawasan Kabikuannya.  Sementara itu daerah seperti wilayah Waruk Sambung dan Wilang, hanya dikenakan “I mas Suwarna” kepada Sri Maharaja setiap bulan “Kesanga” (Centra). Pembebasan atas pajak itu antara lain berupa “Kring Padammaduy” (Iuran Pemadam Kebakaran), “Tapahaji erhaji” (Iuran yang berkaitan dengan air), “Tuhan Tuha dagang” (Kepala perdagangan), “Tuha hujamman” (Ketua Kelompok masyarakat), “Manghuri” (Pujangga Kraton), “Pakayungan Pakalangkang” (Iuran lumbung padi), “Pamanikan” (Iuran manik-manik, permata) dan masih banyak pajak lainnya.Kala itu juga belum ada piagam penghargaan untuknya. maka sebagai peringatan atas jasanya itu lalu dibuat prasasti sebagai “Pngeleng-eleng” (Peringatan). Prasasti itu diberi nama “HARINJING” B” yang bertahun Masehi 19 September 921 Masehi. Dan disebutlah “Selamat tahun saka telah lampau 843, bulan Asuji, tanggal lima belas paro terang, paringkelan Haryang, Umanis (legi). Budhawara (Hari Rabo), Naksatra (bintang) Uttara Bhadrawada, dewata ahnibudhana, yoga wrsa.

Menurut penelitian dari para ahli lembaga Javanologi, Drs. M.M. Soekarton Kartoadmodjo, Kediri lahir pada Maret 804 Masehi. Sekitar tahun itulah, Kediri mulai disebut-sebut sebagai nama tempat maupun negara. Belum ada sumber resmi seperti prasasti maupun dokumen tertulis lainnya, yang dapat menyebutkan, kapan sebenarnya Kediri ini benar-benar menjadi pusat dari sebuah Pemerintahan maupun sebagai mana tempat. Dari prasasti yang diketemukan kala itu, masih belum ada pemisah wilayah administratif seperti sekarang ini. Yaitu adanya Kabupaten dan Kodya Kediri, sehingga peringatan Hari Jadi Kediri yang sekarang ini masih merupakan milik dua wilayah dengan dua kepala wilayah pula.

Seperti dilansir dari situs resmi Pemerintah Kabupaten Kediri, bahwa menurut para ahli, baik Kadiri maupun Kediri sama-sama berasal dari bahasa Sansekerta, dalam etimologi “Kadiri” disebut sebagai “Kedi” yang artinya “Mandul“, tidak berdatang bulan (aprodit). Dalam bahasa Jawa Kuno, “Kedi” juga mempunyai arti “Dikebiri” atau dukun.

Menurut Drs. M.M. Soekarton Kartoadmodjo, nama Kediri tidak ada kaitannya dengan “Kedi” maupun tokoh “Rara Kilisuci“. Namun berasal dari kata “diri” yang berarti “adeg” (berdiri) yang mendapat awalan “Ka” yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti “Menjadi Raja”.Kediri juga dapat berarti mandiri atau berdiri tegak, berkepribadian atau berswasembada. Jadi pendapat yang mengkaitkan Kediri dengan perempuan, apalagi dengan Kedi kurang beralasan. Menurut Drs. Soepomo Poejo Soedarmo, dalam kamus Melayu, kata “Kediri” dan “Kendiri” sering menggantikan kata sendiri.Perubahan pengucapan “Kadiri” menjadi “Kediri” menurut Drs. Soepomo paling tidak ada dua gejala. Yang pertama, gejala usia tua dan gejala informalisasi. Hal ini berdasarkan pada kebiasaan dalam rumpun bahasa Austronesia sebelah barat, dimana perubahan seperti tadi sering terjadi.

Terlepas dari itu semua, kini diperingatinya Hari Jadi Kabupaten Kediri akan mengingatkan sikap, pemikiran dan tindakan positif kita semua untuk memajukan dan mensejahterakan bersama Kabupaten Kediri sebagai ibu pertiwi kita semua warga Kabupaten Kediri. Selamat Hari Jadi Kabupaten Kediri ke-1220 tahun 2024. Jayati Kadhiri. – (Ajie) –  

Load More Related Articles
Load More By Aji Suharmaji
Load More In 01-Kediri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also

Pertahankan Martabat Kepengurusan HPK

Malang (MPN) – Berjatidiri Eksis. Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Terhadap Tuha…